25 Desember 2010

Illegal Fishing di Sulawesi Utara


  • Kondisi Perikanan Sulawesi Utara
Daerah perairan di SULUT
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara (2007) mengungkapkan bahwa potensi sumberdaya ikan ekonomis penting, seperti Tuna, Cakalang dan Tongkol di sekitar perairan Sulawesi Utara setiap tahunnya mencapai 459.800 ton. Tersebar di perairan Indonesia (PI) dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sementara itu jumlah tangkapan sumberdaya ikan yang diperbolehkan (JTB) untuk ditangkap adalah mencapai 367.840 ton per tahun atau sekitar 80 persen dari potensi sumberdaya ikan. Potensi sumberdaya ikan Cakalang mencapai 58,20 persen dari total potensi sumberdaya tersebut. Secara lengkap potensi sumberdaya ikan tersebut dapat dilihat pada Tabel-5.1.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara (2007), juga mengungkapkan bahwa secara umum pertumbuhan produksi sumberdaya ikan ekonomis penting seperti Tuna, Cakalang dan Tongkol pada periode tahun 2002-2005 rata-rata mencapai 1,50 persen per tahun. Dilihat secara lebih detail pertumbuhan produksi sumberdaya ikan yang paling tinggi terjadi pada ikan Cakalang dan Tuna, yaitu rata-rata mencapai 4,59 persen dan 1,40 persen. Sementara itu pertumbuhan produksi ikan Tongkol pada periode tahun 2002-2005 terlihat mengalami penurunan sebesar 6,35 persen per tahun.
Berdasarkan data PPN Bitung (2006), jumlah produksi ikan yang didaratkan di PPN Bitung mengalami peningkatan dari tahun 2004-2006 (Tabel-4.3.). Berdasarkan data tersebut, tahun 2004-2005 jumlah produksi ikan mengalami peningkatan sebesar 246,27 persen atau hampir 2,5 kali lipat.
Alat Tangkap utama Ikan Tuna yang didaratkan di Bitung terdiri dari alat tangkap pancing dan jaring lingkar (purse seine). Alat tangkap pancing meliputi pole and line dan hand line, sedangkan untuk nelayan asing yang mempunyai ijin menangkap di Indonesia pada umumnya menggunakan pancing rawai atau long line. Sedangkan purse seine umumnya adalah dalam bentuk kapal pan boat, yang awalnya dimiliki oleh nelayan Filipina, tetapi sekarang sebagian besar dimiliki oleh nelayan lokal.
Kapal asing
Rata-rata kapal hand line berukuran dibawah 10 GT, dan berawak sekitar 7 orang dan beroperasi 7-10 hari termasuk perjalanan ke lokasi dan pulang ke  landing base.  Mesin kapal bervariasi, sebagian merupakan mesin in-board dan sebagian merupakan  out-board. Pada mesin yang bersifat out-board digunakan mesin ganda, berkekuatan 2x40 PK dan sebagian telah dimodifikasi menjadi mesin dengan bahan bakar minyak tanah. Sedangkan pada mesin  in-board  digunakan mesin tunggal 80-90 PK, dengan bahan bakar minyak diesel. Sementara pada alat tangkap  pole  and  line, kapal biasanya berukuran lebih besar dari hand line dengan kekuatan yang lebih besar dan dilengkapi dengan alat pemancar air dan palka sirkulasi. Sehingga operasi penangkapan lebih lama dibandingkan dengan  hand line. Rumpon yang digunakan merupakan rumpon laut dalam dengan ukuran 3mx3m seperti terlihat dalam Gambar-5.2 Rakit rumpon disusun dari kontruksi bambu, sedangkan dasar rumpon berkontruksi berlapis antara bambu dan gabus/sterofoam. Untuk mengantisipasi kuatnya arus, maka tali ris (tali jangkar) rumpon biasanya diperpanjang  sekitar 1,5 kali kedalaman air. Sedangkan untuk mengatasi terjadinya iritasi akibat gesekan antara tali rumpon satu dengan rumpon yang lain, maka pada sekitar 22 meter pertama dilindung dengan rotan.
Pada kapal dengan alat tangkap  hand line digunakan umpan baik ikan hidup maupun umpan buatan (artifisial). Umpan yang digunakan biasanya adalah ikan cakalang yang berukuran 200 gram/ekor atau size 5 ekor/kg. Sedangkan ikan buatan biasanya dibuat sendiri oleh nelayan. Berkembangnya penangkapan Ikan Tuna dan sejenis tuna di Sulawesi Utara, juga diikuti oleh berkembangnya industri pengolahan hasil perikanan. Sekarang ini, kurang lebih 17 perusahaan pengolahan hasil perikanan beroperasi di Bitung, baik segar, beku maupun pengalengan. Sebagiannya hanya untuk mengolah tuna, sebagian perusahaan lainnya mengolah Ikan Cakalang dan Tongkol. Orientasi pasar produk tersebut sebagian besar adalah untuk pasar ekspor. Ikan hasil tangkapan nelayan di Bitung, dapat dikelompokan menjadi Ikan Tuna (Mata Besar dan Sirip Kuning) dan Ikan Cakalang. Karena proses pengolahannya yang berbeda, maka pendaratan ikan dan proses pananganannya juga mengalami perbedaan. Ikan Tuna pada umumnya tidak didaratkan di TPI, tetapi pada tiga titik pusat pendaratan yaitu: Candi, Air Tembaga dan Pateten. Dari wilayah pendaratan tersebut, kemudian diangkut menggunakan alat transportasi darat ke perusahaan oleh pedagang pengumpul atau langsung oleh staf perusahaan. Akibatnya, sangat sedikit informasi dan data resmi pendaratan Ikan Tuna yang dapat diakses untuk analisis berikutnya. Berdasarkan informasi, ikan yang dibeli oleh perusahaan pengolah sebagian juga merupakan hasil tangkapan nelayan dari Sangir, Talaud dan Manado (Gambar-5.3.). Sedangkan untuk ikan yang ditujukan sebagai konsumsi masyarakat, didaratkan di 2 PPN Bitung. Pola distribusi hasil tangkapan ikan Cakalang dapat dilihat dalam Gambar-5.4.
Ikan Tuna hasil tangkapan nelayan berdasar kesegarannya dapat dikelompokan menjadi  4  grade yaitu A, B,C dan grade lokal. Grade A  dan grade C masuk dalam kelompok ekspor segar, sedangkan grade lokal bila masuk tidak masuk pada grade ekspor segar. Harga masing-masing grade A sampai C per kg adalah Rp 28.000/kg, Rp 23.000/kg dan Rp 21.000/kg. Sedangkan di luar itu, masuk dalam grade lokal dengan harga Rp 10.000/kg. Namun demikian, berdasar informasi dari masyarakat, apabila jumlah tersebut tidak terlalu banyak maka biasanya akan dibeli juga oleh perusahaan. Sedangkan bila dalam jumlah banyak maka dijual kepada pedagang lokal.
Hasil produk pengolahan Ikan Tuna (segar) biasanya diolah dalam bentuk stik dan loin segar, yang sebagian besar produk ini dipasarkan ke Amerika Serikat. Sementara untuk ikan cakalang sebagian menjadi produk Ikan Kayu (Katsuobushi) yang dipasarkan ke Jepang, sebagian lagi diolah menjadi Ikan Asap (Fufu) yang dipasarkan untuk konsumsi lokal.
  • Masalah-masalah
Pertama, Maraknya kegiatan perikanan legal. Kegiatan tersebut disebabkan oleh tidak adanya kontrol syahbandar terhadap keluar masuknya kapal ikan, tidak adanya kontrol terhadap perusahaan yang dapat ijin menangkap ikan dan tidak adanya kontrol ukuran ikan yang tertangkap nelayan.
Kedua, size Ikan Tuna yang tertangkap nelayan semakin kecil. Ukuran ikan tangkapan yang semakin kecil, diduga ada hubungannya dengan praktek perikanan ilegal yang marak terjadi disekitar perairan Sulawesi Utara. Secara lengkap keterkaitan antar permasalahan tersebut dapat dilihat pada Gambar-5.5.
Selain itu, hasil diskusi terbatas dengan para pelaku perikanan di sekitar perairan Sulawesi Utara memperlihatkan aktor-aktor yang terlibat dalam praktek perikanan illegal ini. Disebutkan bahwa mekanisme praktek perikanan ilegal melibatkan tiga pelaku utama, yaitu para pengusaha perikanan, operator lapangan dan oknum aparat keamanan dan pemerintah. Ketiga pelaku utama tersebut memiliki perannya masing-masing, yaitu
1)   Operator lapangan, berperan dalam melakukan aktivitas pencurian ikan.
2)   Pengusaha perikanan, berperan dalam penyelesaian secara hukum apabila kapal illegal yang diopersaikan tertangkap dan turut membiayai biaya produksi yang dibutuhkan selama beroperasi. Selain itu, para pengusaha perikanan juga berperan dalam memberikan informasi kepada operator apabila akan diadakan razia/operasi pemberantasan perikanan ilegal di sekitar daerah tangkapan ikan. Hal ini dilakukan untuk terhindar dari operasi yang digelar oleh pihak keamanan. Informasi akan digelarnya sebuah operasi perikanan ilegal tersebut diperoleh para pengusaha perikanan dari para oknum aparat kemanan dan pemerintah. Informasi di lapangan juga menunjukkan bahwa kompensasi pengusaha perikanan kepada para oknum tersebut berupa pemberian “upeti” sebesar yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak. Mekanisme tersebut memang sangat sulit untuk dibongkar lebih lanjut.
3)   Oknum aparat keamanan dan pemerintah. Mereka berperan dalam memberikan keamanan terhadap kapal-kapal ilegal milik para pengusaha perikanan. Secara lengkap mekanisme  illegal fishing tersebut dapat dilihat pada Gambar-5.6
Masalah  ketiga, masih berkembangnya aktivitas mendaratkan ikan hasil tangkapan langsung di pelabuhan milik perusahaan. Aktivitas tersebut telah berdampak antara lain: Pelabuhan perikanan yang tidak berfungsi optimal, banyaknya data sumberdaya ikan yang tertangkap tidak terdata oleh pemerintah daerah (unreported fishing), hilangnya retribusi pelabuhan, hilangnya jasa pelabuhan dan aktivitas pelelangan ikan tidak berfungsi. Secara lengkap keterkaitan masalah tersebut dapat dilihat pada Gambar-5.7.
Aktivitas mendaratkan ikan di pelabuhan milik perusahaan tersebut telah melanggar UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) No. 17 Tahun 2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Dalam Pasal 45 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa kapal perikanan yang berada dan atau berpangkalan di luar pelabuhan perikanan, surat ijin berlayar diterbitkan oleh Syahbandar setempat setelah diperoleh Surat Layak Operasi (SLO) dari pengawas perikanan yang ditugaskan pada pelabuhan setempat. Dalam penjelasan Pasal (45) tersebut dijelaskan pula bahwa kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan perikanan termasuk dari pelabuhan yang dibangun pihak swasta hanya dimungkinkan apabila di tempat tersebut tidak ada pelabuhan perikanan. Termasuk kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan perikanan diantaranya kapal-kapal yang berlayar dari pelabuhan tangkahan, pelabuhan rakyat dan pelabuhan lainnya wajib memperoleh SLO dari pengawas perikanan. Ketentuan ini hanya dimungkinkan berlaku bagi kapal perikanan yang pada daerah tersebut memang tidak ada pelabuhan perikanan dan atau pelabuhan umum dan fasilitas lainnya. Dalam hubungan ini, maka surat ijin berlayar dimungkinkan untuk diterbitkan oleh Syahbandar setempat.
Sementara itu dalam Pasal 8 (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) No. 17 Tahun 2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap menyatakan bahwa setiap kapal penangkapan ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan yang ditetapkan dalam SIPI1 dan atau SIKPI2.
Permasalahan terkait dengan IUU baik itu illegal fishing, ataupun yang sejenisnya merupakan masalah kita bersama. Masalah tersebut bisa saja teratasi manakala kita bangsa Indonesia khususnya pemerintah melakukan perbaikan diberbagai bidang kelautan. Misalnya dalam keamanan kelautan, pengadaan kapal-kapal patroli yang modern ataupun tindakan hukum yang tegas dan jelas. Supaya kapal-kapal asing yang melakukan illegal fishing tersebut jera. Akan tetapi hal-hal tersebut tidak akan bisa tercapai jika tidak ada kerjasama antara kita selaku masyarakat khususnya masyarakat pesisir pantai (nelayan).

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Selamat siang para sahabat nelayan.keanal kan nama saya M.Tamrin kebetulan saya bergerak langsung di bidang produksi pembuatan Tali rumpon dan tali rumput laut sekira nya ada diantara sahabat yg ingin mencoba memakai produksi tali saya silahkan hubungi saya langsung di no hp 082379070732.
jenis Tali yg saya produksi ada 4 macam jenis tali yang
1 Tali rumpon
2 Tali sol
3 Tali dogol
4 Tali rumput laut(minim ukuran 15mm)warna putih
Barangkali dari para sahabat berminat hubungi saja langsung.
Trimakasih

Masukkan email kamu untuk berlangganan tulisan dengan saya :

Delivered by FeedBurner